review-film-the-hunt

Review Film The Hunt

Review Film The Hunt. Pada Oktober 2025, tepat lima tahun sejak rilisnya yang penuh kontroversi, “The Hunt” (2020) kembali ramai di kalangan pecinta thriller satire berkat rewatch spike di streaming platform seperti Netflix, didorong thread anniversary di Reddit yang viral pekan lalu. Di tengah siklus pemilu AS yang memanas, film karya Craig Zobel ini terasa profetik—kritik tajam terhadap polarisasi politik yang kini lebih ekstrem. Dibintangi Betty Gilpin sebagai pemburu ulung dan Hilary Swank sebagai pemimpin elit sadis, “The Hunt” angkat cerita absurd tentang permainan berburu manusia antar kelas sosial. Dengan rating 59 persen di Rotten Tomatoes yang mencerminkan opini terbelah, dan box office US$10 juta di tengah pandemi, film ini tetap jadi guilty pleasure bagi yang suka campur gore dengan komentar sosial. Di usia lima tahun, ia tak pudar; malah, relevan lagi di era culture war yang tak kunjung reda. Apa yang bikin film ini tetap dibahas? Kita review ulang, dari plot hingga warisannya yang berdarah-darah. BERITA TERKINI

Ringkasan dari Film Ini: Review Film The Hunt

“The Hunt” berlatar di dunia dystopian di mana sekelompok orang biasa—dari berbagai latar politik—diculik dan diburu sebagai “deer” oleh elit kaya yang sebut diri “hunters” di hutan terpencil. Cerita buka dengan adegan brutal: korban bangun di kereta, diberi nama burung atau hewan, lalu dikejar dengan senjata canggih. Fokus utama ke Crystal (Betty Gilpin), mantan tentara yang selamat dari serangan awal, balik jadi pemburu yang cerdas pakai insting survival. Ia hadapi Athena (Hilary Swank), pemimpin hunters yang punya agenda politik tersembunyi, lengkap dengan twist soal identitas dan motif.

Film runtime 90 menit ini campur action cepat—tembakan headshot, jebakan liar—dengan dialog sarkastik yang sindir isu seperti fake news dan echo chamber. Konflik klimaks di markas hunters, di mana Crystal ungkap rahasia besar, tutup dengan ledakan metaforis tentang balas dendam kelas bawah. Ditulis Damon Lindelof dan Zobel, adaptasi ini terinspirasi Hunger Games tapi lebih gelap, satire partisan di mana “liberal” vs “konservatif” jadi alasan pembantaian. Bukan thriller konvensional; ia pakai gore untuk pukul wajah penonton, tapi akhiri dengan punchline yang bikin geleng-geleng.

Alasan Film Ini Sangat Populer: Review Film The Hunt

“The Hunt” populer karena kontroversi rilisnya: trailer awal picu tweet Trump yang sebut film “violent and disgusting”, bikin Universal tunda premiere dari September 2019 ke Maret 2020, tepat saat pandemi mulai. Buzz itu ubah jadi free publicity, tarik audiens penasaran meski box office terbatas US$10 juta. Gilpin curi spotlight sebagai Crystal yang badass—nominasi Critics’ Choice untuk aktingnya—sementara Swank bawa karisma villainous yang bikin Athena ikonik. Cast pendukung seperti Emma Roberts, Ike Barinholtz, dan Glenn Howerton tambah humor hitam yang relatable.

Di 2025, anniversary ke-5 dorong festival seperti Fantastic Fest yang tayang ulang akhir September, tarik diskusi soal relevansi satire-nya di era Trump 2.0. Di TikTok, edit gore-absurd viral, dorong Gen Z sebut ia “Purge meets Mean Girls”. Pengaruhnya luas: inspirasi serial seperti “The Boys” season baru, dan buku analisis politik yang kutip film ini. Tak heran ia staple di daftar “controversial 2020s” IMDb dengan 6.5/10, bukti bagaimana satire politik Lindelof tangkap esensi divide yang tak hilang.

Sisi Positif dan Negatif Film Ini

Positif “The Hunt” ada di eksekusi action: choreografi tembak-menembak Zobel tajam, bikin adegan hutan terasa tegang seperti “You’re Next”—film Zobel sebelumnya. Gilpin’s performance standout, bawa Crystal dari korban ke predator dengan humor kering yang seimbang gore, sementara Swank’s Athena jadi villain memorable yang sindir elit Hollywood. Satire-nya cerdas di momen-momen: dialog soal “woke hunting” pukul tepat, kritik bubble sosial tanpa bertele-tele. Di 2025, ia relevan untuk isu polarisasi, bantu penonton renungkan echo chamber tanpa preach—review Variety sebut ia “intense over-the-top satire”. Secara emosional, twist akhir beri katarsis brutal, bikin film terasa cathartic bagi yang muak berita politik.

Negatifnya, satire kadang terlalu on-the-nose—beberapa sebut ia “not great satire” karena gagal gali dalam, malah jadi exploitation flick yang pakai politik untuk gore. Pacing cepat bikin karakter sampingan underdevelop, seperti Roberts yang potensial tapi terbuang, sementara akhir predictable bagi yang hafal genre. Kontroversi awal bikin film terasa dated di 2025, dengan referensi partisan yang kini terlalu spesifik; Roger Ebert bilang ia “guilty pleasure” tapi butuh 20 tahun untuk netral. Bagi penonton sensitif, kekerasan grafis overwhelming—rating R dengan warning daripada hiburan ringan. Meski begitu, kekurangan ini justru bikin ia unik—bukan film pintar sempurna, tapi pukulan yang sakit tapi perlu.

Kesimpulan

“The Hunt” di anniversary ke-5 tahun 2025 tetap jadi thriller satire yang berdarah, dari ringkasan manhunt politik hingga popularitas berkat kontroversi dan Gilpin’s star turn, dengan positif action tajam kalahkan negatif satire dangkal. Bukan sekadar gore fest, ia cermin divide sosial yang makin lebar. Saat pemilu mendekat, film ini ingatkan: berburu musuh tak selesaikan apa-apa. Kalau belum nonton, ini saatnya—atau rewatch untuk tawa getir lagi. Siap ikut hunt Anda sendiri?

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

More From Author

review-film-fight-club-2

Review Film Fight Club

review-film-accepted

Review Film Accepted

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LINK ALTERNATIF: