review-film-side-effects

Review Film Side Effects

Review Film Side Effects. Di tengah gelombang ulasan ulang film thriller 2010an yang lagi naik daun di Netflix 2025, Side Effects tiba-tiba trending di Letterboxd setelah thread “Best Soderbergh Twists” raih 20 ribu upvote bulan lalu. Film Steven Soderbergh 2013 ini, yang sempat jadi “last film” sang sutradara sebelum pensiun sementara, kini dibahas lagi saat ia comeback dengan Command Z di Apple TV+. Dengan isu kesehatan mental dan industri farmasi lagi panas pasca-pandemi—seperti skandal obat sempalan di berita global—Side Effects bukan sekadar psycho-thriller, tapi cermin gelap ambisi medis. Saat Rooney Mara sibuk promo The Gilded Age season 3, ulasan ulang ini pas: film yang bikin kita tanya, apa harga satu pil ajaib kalau efek sampingnya hancurkan segalanya? BERITA BASKET

Ringkasan Singkat dari Film Ini: Review Film Side Effects

Side Effects ikuti Emily Taylor (Rooney Mara), wanita muda yang depresi berat setelah suami Jonathan (Channing Tatum) keluar penjara akibat skandal insider trading. Ia coba berbagai terapi, tapi psikiater Jonathan Banks (Jude Law) resepkan obat eksperimental Ablixa—antidepresan baru dari Big Pharma. Awalnya manjur: Emily bahagia, tapi efek samping muncul—pembunuhan pasangan tidur saat sleepwalking. Emily ditangkap, Banks hancur karirnya, sementara psikiater Emily, Dr. Victoria Siebert (Catherine Zeta-Jones), tampak curiga.

Sutradara Soderbergh, yang juga produser dan sinematografer, bikin cerita escalasi cepat: dari drama rumah tangga ke konspirasi korupsi farmasi, penuh twist seperti obat yang dirancang picu efek samping untuk tutup rahasia. Durasi 106 menit ini tutup dengan revenge dingin Emily, balikkan narasi siapa korban siapa pelaku. Visual sleek—dari apartemen mewah ke ruang sidang steril—campur soundtrack Thomas Newman yang tegang, bikin film ini terasa seperti pil yang susah ditelan. Adaptasi script Scott Z. Burns, cerita ini fokus etika medis: satu pil bisa selamatkan nyawa, tapi juga hancurkan yang lain.

Apa yang Membuat Film Ini Populer: Review Film Side Effects

Side Effects sukses karena formula Soderbergh: rilis Februari 2013 dengan budget US$30 juta, box office global US$63 juta, plus 80% Rotten Tomatoes dari 200 ulasan—puji twist Hitchcockian yang cerdas. Cast all-star: Mara beri Emily yang vulnerable tapi manipulatif, Law sebagai Banks yang naif tapi resilient, Tatum dan Zeta-Jones tambah layer drama. Sinematografi Soderbergh yang dingin—shot close-up pil dan mata—bikin visualnya addictive, seperti Traffic tapi lebih personal.

Popularitas bertahan lewat relevansi: di 2025, saat skandal opioid seperti Purdue Pharma lagi diadili, film ini trending di Reddit dengan rating 7.1/10 IMDb dari 150 ribu votes. Streaming Netflix tambah view 25 persen tahun ini, sementara diskusi X soal “Emily vs. Villanelle” soroti paralel Killing Eve. Awards: Mara nominasi Golden Globe Best Actress, film ini bukti Soderbergh’s “retirement” cuma jeda. Soundtrack moody dan quote “One pill makes you larger” jadi meme farmasi. Intinya, populer karena twist akhir yang mind-blowing dan komentar pharma yang timeless, cocok binge di era obat mental naik 40 persen.

Sisi Positif dan Negatif Film Ini

Positifnya dominan: twist ketiga yang ubah segalanya—Emily bukan korban, tapi mastermind—bikin rewatchable, ajar soal manipulasi dan etika medis tanpa preach. Akting Mara brilian: dari rapuh ke dingin, nominasi Globe bukti. Script Burns tajam, dialog alami seperti “The side effects are the point”, kritik Big Pharma yang ngena tanpa kartun. Visual Soderbergh estetik—warna biru dingin kontras pesta panas—tingkatkan ketegangan, sementara pacing cepat bikin tak bosan. Secara tematik, film ini empowering: tunjukkan wanita bisa main kotor di dunia pria, pesan kuat di era #MeToo.

Negatifnya, plot awal lambat: 20 menit pertama fokus depresi Emily terasa draggy, kurang hook bagi yang suka action cepat. Twist akhir, meski genius, terasa predictable bagi fans Hitchcock—seperti Marnie atau Vertigo. Kritik lain: representasi mental health simplistik—depresi direduksi ke pil, abaikan terapi holistik, bikin kurang sensitif di 2025 saat stigma berkurang. Cast Tatum underutilized, karakternya lebih plot device daripada deepen. Di Letterboxd, beberapa bilang ending terlalu nihilistik, tanpa redemptions. Meski begitu, kekurangannya kecil dibanding kedalaman thriller-nya.

Kesimpulan

Side Effects tetap jadi psycho-thriller Soderbergh yang pil pahit tapi adiktif, dari 2013 hingga trending 2025. Ringkasannya konspirasi obat yang twisty, populer karena akting tajam dan komentar pharma, dengan positif sebagai cermin etika meski negatifnya ingatkan jangan simplistik. Di akhirnya, film ini ajarin: efek samping hidup tak bisa dihindari, tapi pilihan kita yang tentukan obatnya. Saat Mara dan Law sibuk proyek baru, Side Effects bukti: satu pil cerita bisa selamatkan karir—atau hancurkan, tergantung dosisnya.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

More From Author

review-film-terlaris-universal-the-bad-guys-2

Review Film Terlaris Universal : The Bad Guys 2

review-film-the-descendants

Review Film The Descendants

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LINK ALTERNATIF: