Review Film Fight Club. Pada awal Oktober 2025, David Fincher kembali mengguncang penggemar dengan komentar tajamnya soal draft pertama script “Fight Club”: menyebutnya “pathetic” karena kurang voice-over yang esensial, seperti dibagikan dalam wawancara baru-baru ini. Saat film ikonik 1999 itu bersiap rilis 4K Ultra HD remaster dan re-release bioskop untuk ulang tahun ke-26, gelombang fake trailer sekuel “Fight Club 2” dengan Brad Pitt dan Edward Norton malah viral di YouTube, menarik jutaan view meski dikonfirmasi hoaks. Di tengah era konten AI-generated yang membingungkan realitas, “Fight Club” terasa lebih relevan: satir pedas tentang maskulinitas toksik, konsumerisme, dan identitas yang retak. Disutradarai Fincher dengan adaptasi novel Chuck Palahniuk, film ini bukan sekadar kultus klasik; ia cermin gelap masyarakat modern yang haus pemberontakan, terutama saat Gen Z reinterpret liriknya di TikTok sebagai kritik kapitalisme. BERITA BOLA
Ringkasan dari Film Ini: Review Film Fight Club
“Fight Club” mengikuti seorang narator tanpa nama—diperankan Norton sebagai karyawan asuransi yang insomnia kronis dan terjebak rutinitas kosong. Ia hadiri kelompok dukungan palsu untuk tidur nyenyak, tapi hidupnya berubah saat bertemu Tyler Durden, penjual sabun karismatik dan anarkis (Pitt), di pesawat yang tergelincir. Setelah apartemen narator meledak misterius, ia pindah ke rumah bobrok Tyler, di mana keduanya bentuk “fight club” bawah tanah: aturan pertama, jangan cerita soal fight club; aturan kedua, kamu wajib bertarung.
Klub berkembang jadi Project Mayhem, kelompok teroris yang sabotase korporasi dengan tugas absurd seperti merusak seni mahal atau campur kotoran ke sup restoran. Marla Singer (Helena Bonham Carter), kekasih Tyler yang eksentrik, tambah ketegangan emosional. Twist klimaks—tanpa spoiler berat—ungkap dualitas identitas narator, memuncak di gedung pencakar langit yang terbakar, dengan soundtrack Dust Brothers yang gritty dan visual Fincher yang gelap. Berdurasi 139 menit, film ini campur thriller psikologis, komedi hitam, dan manifesto anti-kapitalis, di mana pukulan fisik simbolisasi pembebasan dari budaya IKEA.
Apa yang Membuat Film Ini Populer: Review Film Fight Club
Awalnya kontroversial—dilarang di beberapa negara karena kekerasan— “Fight Club” flop box office domestik $37 juta dari budget $63 juta, tapi boom lewat DVD dan VHS, capai $100 juta global. Kini, rating 79% Rotten Tomatoes dari 260 ulasan dan 8.8/10 IMDb dari 2,3 juta suara jadikan ia kultus abadi, sering top daftar “best films” seperti di Empire dan AFI. Quote ikonik “The first rule of Fight Club…” jadi meme budaya, sementara twist akhirnya—dibahas berulang di Reddit—bikin rewatches tak ada habisnya.
Popularitasnya bertahan berkat relevansi: satir konsumerisme Palahniuk resonan di era Amazon dan fast fashion. Di 2025, remaster 4K awal tahun tarik penonton bioskop baru, sementara fake trailer sekuel viral di media sosial picu debat soal legacy sequel. Performa Pitt sebagai Tyler—raw dan magnetis—dan Norton yang neurotic, plus cameo Jared Leto sebagai “Space Monkeys”, tambah daya tarik. Soundtrack grunge-nya, termasuk Pixies’ “Where Is My Mind?”, sering playlist festival, sementara pengaruhnya lihat di film seperti “Joker” atau serial “Mr. Robot”. Di Indonesia, ia populer di komunitas film indie, sering diputar di acara midnight screening, berkat tema pemberontakan yang universal bagi generasi burnout.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Keunggulan “Fight Club” terletak pada keberanian Fincher: sinematografi non-linear dengan glitch efek dan warna desaturasi ciptakan suasana paranoid yang immersive, seperti puji Roger Ebert yang beri 3.5/4 bintang sebagai “energi liar yang bikin gelisah tapi satisfying”. Dialog tajam seperti “You are not your job” kritik kapitalisme tanpa didaktik, dorong diskusi identitas maskulin di era #MeToo. Performa ensemble—Carter sebagai Marla yang chaotic—tambah kedalaman, sementara pesan anti-materialis empati bagi yang merasa terjebak sistem, bikin film ini terapi bagi milenial dan Gen Z. Di 2025, reinterpretasi feminisnya—sebagai warning soal incel culture—bikin ia relevan lagi, dengan dampak budaya seperti gerakan anti-konsumer di Occupy Wall Street.
Tapi, kritik tak sedikit. Banyak sebut film ini misoginis: Marla direduksi jadi trope “manic pixie dream girl” toksik, sementara kekerasan brutal—pukulan berdarah dan bom—bisa glorifikasi agresi, terutama bagi penonton muda yang salah interpret sebagai panduan hidup. Roger Ebert catat endingnya “brilliant tapi frustrating”, karena ambigu soal reformasi. Beberapa ulasan Reddit 2024 sebut overrated, pacing tengah lambat, dan twist prediktabel bagi yang baca novel. Di konteks sekarang, elemen homofobia halus dan glorifikasi anarkisme tanpa konsekuensi terasa kuno, potensial inspirasi ekstremisme. Meski begitu, kekurangan ini justru buat diskusi kaya, bukan propaganda tapi provokasi cerdas.
Kesimpulan
Dengan komentar Fincher terkini dan remaster 4K yang segar di 2025, “Fight Club” bukti bahwa film provokatif tak pernah pudar—malah makin tajam di era fake news dan krisis identitas. Dari ringkasan dualitas narator-Tyler hingga popularitas kultusnya, plus sisi ganda antara satire brilian dan kontroversi toksik, ia ajak kita tanya: apakah pemberontakan sejati dimulai dari pukulan, atau cermin diri? Saat fake sekuel ramai, warisan asli ini ingatkan bahwa aturan pertama: jangan biarkan budaya pop manipulasi kamu. Nonton ulang sekarang, rasakan adrenalinnya—karena di dunia yang penuh ilusi, “Fight Club” tetap pukulan telak yang dibutuhkan.