Review Film Death at a Funeral. Oktober 2025 lagi ramai dengan tren rewatch komedi klasik di platform streaming seperti Netflix, dan Death at a Funeral (2007) versi Inggris karya Frank Oz jadi salah satu yang paling dibahas—apalagi setelah posting Facebook akhir September lalu puji screenplay Dean Craig soal keluarga kacau di pemakaman. Film ini, yang gross US$46 juta dari budget minim, kembali viral di TikTok dengan klip absurd seperti adegan kopi berhalusinasi, bikin gen Z ketawa sambil bilang “ini metafora hidup dewasa banget”. Dibintangi Matthew Macfadyen sebagai Daniel si anak baik hati yang overwhelmed, plus Rupert Graves dan Alan Tudyk yang curi perhatian, Death at a Funeral bukan cuma farce hitam ala Ealing Studios modern, tapi juga kritik ringan soal rahasia keluarga. Di era di mana pemakaman virtual lagi tren pasca-pandemi, review ulang film ini pas banget buat yang penasaran kenapa kekacauan satu hari bisa bikin kita mikir ulang soal duka. Yuk, kita bedah dari sudut segar, tanpa spoiler berat yang rusak tawa. BERITA TERKINI
Ringkasan Cerita dari Film Ini: Review Film Death at a Funeral
Death at a Funeral ambient di rumah keluarga Inggris suburban, hari pemakaman ayah yang seharusnya tenang malah berubah jadi badai komedi saat saudara, kerabat, dan tamu tak diundang bawa rahasia masing-masing. Daniel (Macfadyen), anak sulung yang biasa-biasa aja, tugas urus acara sambil hadapi tekanan dari ibu (Jane Asher) dan adik Simon (Graves), dokter sukses yang lagi stress nikah. Tamu seperti paman vicar (Peter Egan) yang cerewet dan teman Simon, Peter (Tudyk), yang salah minum obat, tambah chaos dengan halusinasi lucu dan konfrontasi emosional.
Cerita naik pelan lewat akumulasi kekacauan: dari kotak abu yang salah sampe pengakuan gelap soal perselingkuhan ayah, campur elemen slapstick sama dialog sarkastik ala British humor. Durasi 90 menitnya padat, dengan visual rumah sempit yang bikin ruang terasa meledak—seperti shot close-up wajah panik Daniel kontras sama tawa paksa tamu. Tanpa subplot berlebih, film ini fokus pada satu hari gila itu, tutup dengan pesan soal penerimaan kekurangan keluarga. Adaptasi screenplay Craig dari ide orisinalnya, Death at a Funeral bangun narasi linier tapi layered, bikin penonton ikut deg-degan sambil gelak.
Kenapa Film Ini Sangat Untuk Ditonton: Review Film Death at a Funeral
Di 2025, saat survei nunjukkin 70% orang ngerasa “funeral anxiety” gara-gara biaya dan drama keluarga, Death at a Funeral terasa seperti obat katarsis yang pas buat ditonton ulang. Premisnya timeless: pemakaman sebagai katalisator rahasia, bikin setiap scene punya urgensi lucu—bayangin deg-degan nunggu ledakan berikutnya dari tamu mabuk. Pacing-nya kenceng, campur farce fisik ala Peter Sellers sama witty banter yang bikin dialog nempel, cocok buat marathon keluarga tanpa bikin awkward. Casting-nya emas: Macfadyen wakilin everyman yang relatable, Tudyk sebagai Peter curi show dengan ekspresi over-the-top, dan Graves tambah edge dramatis.
Lebih dari hiburan, film ini dorong refleksi soal duka yang nggak linear—nggak cuma sedih, tapi absurd dan healing lewat tawa. Review Iowa State Daily akhir-akhir ini puji comedy-nya yang “forces its way out of the screen” meski kadang flat, relevan buat gen Z yang haus konten anti-perfect family. Visual low-fi tapi charming-nya masih fresh di era CGI berlebih, apalagi dengan soundtrack minimalis yang nambah vibe Inggris. Streaming gampang di Netflix, durasinya pendek tapi aftertaste-nya panjang—banyak yang bilang nonton bikin lebih siap hadapi reuni keluarga. Kalau lo lagi butuh komedi yang pintar tapi nggak pretensius, putar ini dulu; setidaknya, Oz ingetin bahwa kematian bisa bikin hidup lebih hidup.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Death at a Funeral punya kekuatan besar di sisi positifnya: humor hitamnya brilian, bangun momentum pelan sampe klimaks yang bikin ngakak tak terkendali—Metacritic puji “generate laughter” dengan gradient yang naik tajam di paruh kedua. Ensemble cast-nya solid: setiap karakter punya beat komedi unik, dari vicar yang clueless sampe pelayan misterius, bikin dinamika keluarga terasa autentik dan chaotic. Secara teknis, arahan Oz yang dari Muppets bawa sentuhan absurd visual, seperti shot absurditas di ruang tamu sempit, yang bikin film ini cult favorite. Tema penerimaan rahasia keluarga dalem tapi ringan, cocok buat diskusi pasca-tonton—nggak heran audience Rotten Tomatoes kasih 78% fresh, puji sebagai “hilarious, lightly emotional”. Di 2025, dengan tren dark comedy ala The Afterparty, film ini buktiin daya tahan sebagai blueprint farce modern, plus pengaruhnya ke remake 2010 yang sukses.
Tapi, ada sisi negatif yang tak terhindar. Beberapa scene komedi terasa repetitive, terutama slapstick yang dirasa overplayed buat selera modern—seperti review Spirituality & Practice yang sebut “huge embarrassments” tapi kadang kurang subtle. Karakter wanita underutilized, seperti ibu Daniel yang potensinya nggak tergali melebihi trope, dan dialog kadang terlalu British-dry buat penonton global. Di konteks sekarang, elemen homofobia subtle di satu subplot dikritik sensitif, meski intent-nya satire. Ending-nya satisfying tapi predictable, kurangin surprise dibanding farce ala Four Weddings. Overall, kekurangannya minor dibanding charm ensemble-nya, tapi bisa bikin bosan buat yang cari edge lebih tajam ala In Bruges.
Kesimpulan
Death at a Funeral bukan cuma komedi 2007; dia pesta absurd soal bagaimana duka bongkar rahasia kita, dan di Oktober 2025, dengan rewatch trend yang lagi panas, ceritanya makin ngena. Dari ringkasan kekacauan pemakaman yang tak terlupakan sampe humor Oz yang memikat, film ini tawarin tawa yang bikin lega—meski slapstick-nya kadang klise. Frank Oz buktiin, satu hari gila bisa wakilin kekacauan hidup—dan itu kekuatan terbesar. Kalau lo lagi scroll Netflix buat hiburan malam ini, pilih ini; siap-siap ketagihan, karena di akhir, Death at a Funeral ingetin: keluarga itu chaos, tapi itulah yang bikin kita utuh. Dan itu, yang bikin film ini tak tergantikan.