Review Film Anger Management. Dirilis pada 11 April 2003, Anger Management karya sutradara Peter Segal tetap jadi komedi klasik yang relevan, bahkan di September 2025. Dibintangi Adam Sandler sebagai Dave Buznik dan Jack Nicholson sebagai Dr. Buddy Rydell, film ini kembali disorot setelah lonjakan streaming 20% di Netflix, dipicu oleh diskusi viral di X tentang kesehatan mental dan terapi lucu ala 2000-an. Dengan box office global $195 juta dari budget $75 juta dan rating 6.2/10 di IMDb dari ratusan ribu penonton, film ini mungkin tak raih Oscar, tapi sukses bikin penonton ketawa sambil renungkan pengendalian emosi. Skor 42% di Rotten Tomatoes dari 190 ulasan tunjukkan polarisasi—ada yang suka humor absurdnya, ada yang bilang terlalu goofy. Di era di mana stres dan kemarahan jadi topik hangat, apalagi pasca kampanye “Mental Health Awareness” 2025, Anger Management tawarkan pelajaran ringan: kadang, tertawa adalah terapi terbaik. Mengapa film ini masih layak ditonton ulang? Ini bukan cuma komedi Sandler biasa, tapi cerminan kocak tentang emosi kita di dunia chaos. BERITA BASKET
Ringkasan Singkat dari Film Ini: Review Film Anger Management
Anger Management ikuti Dave Buznik, pebisnis pemalu yang tak sengaja terlibat insiden kecil di pesawat, berujung hukuman ikut kelas manajemen amarah. Masuk Dr. Buddy Rydell, terapis eksentrik yang metode “revolusionernya” malah bikin hidup Dave kacau. Buddy, yang lebih mirip penutup trauma ketimbang dokter, pindah ke rumah Dave, paksa dia hadapi ketakutan—dari konfrontasi bos sampai nyanyi di tengah jalan. Plot campur komedi slapstick dengan momen emosional: Dave harus atasi rasa tak percaya diri, sambil hadapi kekasihnya Linda (Marisa Tomei) dan sahabatnya yang aneh, Andrew.
Cerita bergulir lewat serangkaian sesi terapi absurd, seperti Buddy provokasi Dave untuk “lepaskan amarah” dengan cara tak terduga—lempar ciuman ke orang asing atau hadapi biksu galak. Konflik memuncak saat Dave sadar Buddy mungkin punya agenda lain: apakah ini terapi atau manipulasi? Durasi 106 menit penuh tawa dan kekonyolan, tapi klimaks di Yankee Stadium bawa twist manis yang ungkap kenapa Dave harus “marah” untuk sembuh. Bukan film deep, tapi pesan tentang terima emosi diri sendiri tetap ngena.
Mengapa Film Ini Enak Untuk Ditonton
Anger Management punya pesona komedi 2000-an yang bikin rileks. Sinematografi Donald McAlpine sederhana tapi efektif, dengan warna cerah dan framing lebar yang tangkap ekspresi kocak Sandler—terutama saat ia panik nyanyi “I Feel Pretty”. Skor musik Teddy Castellucci, campur pop upbeat dan jazz ringan, bikin mood tetap ceria meski plot kacau. Chemistry Sandler-Nicholson jadi jantungan film: Sandler mainkan everyman yang frustrasi, sementara Nicholson, dengan smirk setaninya, curi setiap scene sebagai terapis gila.
Pacing cepat; 106 menit terasa singkat karena tiap menit penuh gags, dari cameo seleb seperti John C. Reilly sebagai biksu agresif sampai Woody Harrelson sebagai drag queen. Dialognya penuh one-liner memorable, seperti Buddy bilang “Temper’s the one thing you can’t get rid of by losing it.” Versi streaming 2025 di Netflix tajam, cocok untuk tonton malam santai atau bareng temen yang suka komedi ringan. Enak ditonton karena tak cuma bikin ketawa, tapi juga kasih refleksi halus soal emosi di era modern—di mana X penuh postingan stres kerja, film ini terasa seperti peluk lucu dari masa lalu.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Sisi positif Anger Management ada di hiburan murninya. Chemistry Sandler-Nicholson jadi highlight, dengan Nicholson manfaatkan aura The Shining-nya untuk bikin Buddy tak terduga—jenius atau sinting? Tema pengendalian amarah ringan tapi relevan, apalagi di 2025 saat terapi mental jadi topik besar; film ini dorong penonton terima emosi tanpa malu, meski dibalut humor. Cameo bintang seperti Heather Graham dan cameo olahragawan seperti Roger Clemens tambah keseruan, sementara produksi Happy Madison kasih vibe komedi santai yang khas. Ulasan Variety 2003 sebut “crowd-pleaser” karena aksesibel, dan lonjakan streaming 2025 bukti film ini tetap resonan untuk generasi baru yang cari stress-relief. Dampak budaya juga ada: frasa “anger management” jadi pop culture staple, inspirasi meme dan sketsa komedi.
Tapi, ada sisi negatif. Humor Sandler yang absurd—seperti lelucon kasar atau stereotip—bisa terasa dated di 2025, terutama bagi penonton yang sensitif soal representasi, misalnya karakter Harrelson yang kini dianggap bermasalah oleh beberapa ulasan di X. Plot kadang terlalu konyol, dengan twist akhir yang terasa dipaksakan untuk happy ending ala Hollywood. Karakter pendukung seperti Linda kurang kedalaman, lebih sebagai pemicu plot ketimbang figur kompleks. Untuk yang suka komedi cerdas ala The Big Lebowski, Anger Management bisa terasa dangkal, dan rating PG-13 (Common Sense Media usia 13+) mungkin terlalu ringan untuk beberapa adegan kasar verbal. Meski begitu, kekurangan ini tak bikin film kehilangan pesona—ia tetap fun untuk lepas penat.
Kesimpulan: Review Film Anger Management
Anger Management adalah komedi yang tak cuma bikin ketawa, tapi juga ajak kita lihat amarah sebagai bagian manusiawi, bukan musuh. Dengan duet Sandler-Nicholson yang tak terlupakan dan humor yang masih relevan, film ini tetap jadi pelarian asyik di 2025, apalagi saat dunia terasa penuh tekanan. Lonjakan streaming dan diskusi di X bukti ia bukan relik masa lalu, tapi teman untuk hadapi stres modern. Jika kamu butuh tawa sambil mikir ulang cara luapin emosi, buka Netflix sekarang—tonton Dave hadapi Buddy, dan mungkin kamu akan sadar: marah boleh, asal tahu caranya ketawa. Siapa tahu, setelah kredit bergulir, kamu akan coba nyanyi “I Feel Pretty” untuk lepas stres sendiri.