Review Dari Film Pabrik Gula. Film Pabrik Gula, yang dirilis pada November 2024, telah menjadi sorotan di kalangan pecinta film Indonesia karena pendekatannya yang ambisius dalam menggali sejarah kolonial. Disutradarai oleh Eddie Cahyono, film ini mengisahkan perjuangan pekerja pribumi di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah pada era Hindia Belanda. Dibintangi oleh Prisia Nasution, Chicco Jerikho, dan pendatang baru Sita Nursanti, Pabrik Gula memadukan drama historis dengan sentuhan romansa dan kritik sosial. Dengan latar yang kaya akan detail budaya Jawa, film ini berusaha menyoroti ketidakadilan sosial dan semangat perlawanan. Namun, apakah film ini berhasil memenuhi ekspektasi sebagai drama historis yang mendalam? Berikut ulasan tentang kekuatan, kelemahan, dan daya tarik Pabrik Gula. BERITA BOLA
Sinopsis dan Latar Cerita
Film Pabrik Gula berlatar pada tahun 1890-an di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah, di mana pekerja pribumi menghadapi eksploitasi oleh pengelola Belanda. Cerita berpusat pada Sari (Prisia Nasution), seorang janda muda yang bekerja sebagai buruh di pabrik, dan Soerjo (Chicco Jerikho), seorang pemuda pemberani yang memimpin perlawanan diam-diam terhadap pengelola asing. Ketegangan meningkat ketika Sari mengetahui rahasia kelam tentang kematian suaminya, yang ternyata terkait dengan pemilik pabrik, Van Der Berg (diperankan oleh aktor Belanda, Jeroen Lezer). Sita Nursanti, sebagai adik Sari, menambah dimensi emosional dengan perjuangannya melawan diskriminasi dan tradisi patriarki. Film ini mengambil inspirasi dari sejarah nyata industri gula di Jawa, yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial namun penuh dengan penderitaan pekerja.
Kekuatan Film
Film Pabrik Gula menonjol berkat sinematografi yang memukau dan detail historis yang autentik. Pengambilan gambar di perkebunan tebu Jawa Tengah, dengan rumah joglo dan kostum era kolonial, menciptakan suasana yang imersif. Penampilan Prisia Nasution sebagai Sari luar biasa, dengan ekspresi yang mampu menyampaikan kepedihan dan keteguhan seorang janda yang berjuang. Chicco Jerikho juga menghidupkan Soerjo dengan karisma yang meyakinkan, terutama dalam adegan perlawanan yang penuh semangat. Tema ketidakadilan sosial dan kolonialisme dihadirkan dengan sensitif, menyoroti penderitaan pekerja perempuan dan anak-anak. Musik latar karya Aria Prayogi, yang memadukan gamelan Jawa dengan sentuhan orkestra, berhasil memperkuat emosi, terutama pada adegan klimaks saat pemberontakan pekerja meletus. Narasi film ini juga berani mengkritik eksploitasi ekonomi yang masih relevan dengan isu ketimpangan saat ini.
Kelemahan Film: Review Dari Film Pabrik Gula
Meski ambisius, Pabrik Gula memiliki beberapa kelemahan. Pacing cerita terasa lambat di babak pertama, dengan fokus berlebihan pada pengembangan latar yang membuat penonton menunggu terlalu lama untuk aksi utama. Subplot romansa antara Soerjo dan Sari terasa kurang alami, dengan dialog yang kadang klise dan kurang mendalam. Akting Jeroen Lezer sebagai Van Der Berg terasa monoton, membuat karakternya sebagai antagonis kurang menyeramkan. Selain itu, beberapa adegan konflik, seperti bentrokan antara pekerja dan pengelola, dieksekusi dengan koreografi yang kurang meyakinkan, mengurangi intensitas drama. Penggunaan efek visual untuk kebakaran di pabrik juga terlihat kurang realistis, mengganggu imersi penonton. Durasi film yang mencapai 130 menit terasa berlarut, terutama karena beberapa subplot, seperti kisah keluarga Sari, tidak sepenuhnya terselesaikan.
Resonansi Budaya dan Relevansi: Review Dari Film Pabrik Gula
Film Pabrik Gula berhasil menangkap esensi sejarah Jawa pada era kolonial, dengan detail seperti sistem kerja paksa dan diskriminasi terhadap pribumi yang jarang diangkat dalam sinema Indonesia. Film ini juga relevan dengan isu modern, seperti eksploitasi tenaga kerja dan perjuangan perempuan, yang resonan dengan penonton masa kini. Namun, beberapa penonton mungkin merasa bahwa penggambaran Belanda sebagai penutur bahasa Inggris dengan aksen Belanda terasa kurang autentik, meski ini mungkin disengaja untuk menjangkau audiens global. Film ini menuai pujian di festival seperti Jogja-NETPAC Asian Film Festival, di mana ia memenangkan penghargaan untuk sinematografi. Dengan 1,1 juta penonton di bioskop dan peringkat tiga di Netflix Indonesia, Pabrik Gula membuktikan daya tariknya sebagai drama historis yang kaya makna.
Kesimpulan: Review Dari Film Pabrik Gula
Film Pabrik Gula adalah drama historis yang ambisius dengan sinematografi memukau, penampilan kuat dari Prisia Nasution dan Chicco Jerikho, serta tema ketidakadilan yang menyentuh. Namun, kelemahan seperti pacing lambat, subplot romansa yang lemah, dan efek visual yang kurang memadai sedikit mengurangi pesonanya. Bagi penggemar film sejarah yang mengapresiasi narasi tentang perjuangan dan budaya Jawa, film ini menawarkan pengalaman yang mendalam dan emosional. Meski tidak sempurna, Pabrik Gula berhasil menghidupkan kembali sejarah kelam industri gula dengan cara yang relevan, dengan rating 6,5/10 di IMDb. Film ini layak ditonton sebagai cerminan perjuangan pribumi dan pengingat akan dampak kolonialisme, meski tidak akan menjadi karya klasik abadi.