Review Film: Ratatouille (2007)

Review Film: Ratatouille Membuat penonton merasa lapar dan tergiur oleh masakan yang dibuat oleh seekor tikus—hewan yang biasanya diasosiasikan dengan kotoran dan wabah penyakit—adalah sebuah pencapaian yang hanya bisa dilakukan oleh penyihir penceritaan di Pixar. Ratatouille, yang dirilis pada tahun 2007 dan disutradarai oleh Brad Bird (The Incredibles), adalah sebuah film yang berani, aneh, namun sangat memikat.

Berlatar di kota Paris yang romantis, film ini menceritakan kisah Remy, seekor tikus desa yang memiliki indra penciuman dan pengecap yang sangat tajam. Berbeda dengan koloninya yang makan sampah demi bertahan hidup, Remy mendambakan pengalaman kuliner yang luhur dan bermimpi menjadi koki hebat seperti idolanya, Auguste Gusteau. Takdir membawanya ke restoran Gusteau, di mana ia membentuk aliansi yang tidak mungkin dengan Alfredo Linguini, seorang tukang sampah yang canggung dan tidak bisa memasak. Premis “dalang dan boneka” di dapur ini menjadi landasan bagi sebuah komedi fisik yang brilian dan drama yang menyentuh hati tentang seni dan prasangka.

Visual Kuliner yang Menggugah Selera

Sebelum Ratatouille, makanan dalam animasi sering kali terlihat seperti plastik atau lumpur berwarna. Namun, film ini mengubah segalanya. Tim Pixar bekerja keras untuk menciptakan tekstur makanan yang begitu realistis hingga uap panas yang mengepul dari panci sup terasa bisa dicium oleh penonton. Kilau saus, renyahnya kerak roti, dan lembutnya potongan sayuran digambarkan dengan detail yang penuh kasih. Film ini adalah food porn dalam bentuk animasi terbaiknya. (casino)

Selain makanan, penggambaran kota Paris juga patut diacungi jempol. Paris dalam Ratatouille bukanlah replika fotorealistik, melainkan versi idealis yang hangat, penuh dengan cahaya keemasan, jalanan berbatu yang basah, dan pemandangan Menara Eiffel yang puitis. Kontras visual juga dibangun dengan cerdas antara dunia atas (dapur restoran yang berkilauan dan sibuk) dengan dunia bawah (selokan tempat tikus tinggal yang gelap dan lembap), menekankan kesenjangan antara realitas Remy dan impiannya.

Komedi Fisik dan Dinamika Remy-Linguini

Mekanisme cerita di mana Remy mengendalikan gerakan tubuh Linguini dengan menarik rambutnya di balik topi koki adalah ide yang sangat absurd, tetapi dieksekusi dengan genius. Adegan latihan memasak mereka adalah masterclass dalam komedi fisik (slapstick) yang mengingatkan kita pada film-film bisu Buster Keaton atau Charlie Chaplin. Animator berhasil menangkap berat tubuh Linguini yang terhuyung-huyung di luar kendalinya, menciptakan tawa yang alami tanpa perlu banyak dialog.

Dinamika mereka adalah hati dari film ini. Remy adalah otak dan bakat, sementara Linguini adalah wajah dan akses ke dunia manusia. Hubungan simbiosis ini mengajarkan tentang kerja sama dan kerendahan hati. Keduanya adalah “orang buangan” dengan cara mereka sendiri—Remy karena spesiesnya, dan Linguini karena ketidakkompetenannya—yang menemukan kekuatan saat bersama.

Anton Ego dan Pertahanan Terhadap Kritik Seni Review Film: Ratatouille

Salah satu karakter paling berkesan dalam film ini bukanlah protagonisnya, melainkan antagonis tersiernya: Anton Ego, kritikus makanan yang ditakuti. Dengan desain karakter yang menyerupai vampir dan peti mati sebagai ruang kerjanya, Ego adalah personifikasi dari elitisme dan ketakutan akan penilaian. Namun, karakternya memiliki kedalaman yang mengejutkan.

Puncak emosional film ini terjadi saat Ego mencicipi hidangan sederhana Ratatouille buatan Remy. Reaksi “flashback” Ego—yang seketika teringat masakan ibunya saat ia kecil—adalah salah satu momen sinematik paling kuat tentang kekuatan makanan. Makanan bukan sekadar rasa; ia adalah memori dan emosi.

Monolog penutup Anton Ego adalah salah satu naskah terbaik yang pernah ditulis dalam sejarah film. Kalimatnya, “Not everyone can become a great artist, but a great artist can come from anywhere” (Tidak semua orang bisa menjadi seniman hebat, tapi seniman hebat bisa datang dari mana saja), merangkum tema utama film ini dengan sempurna. Itu adalah sanggahan yang indah terhadap elitisme, menegaskan bahwa bakat tidak memandang latar belakang, ras, atau bahkan spesies.

Kesimpulan Review Film: Ratatouille

Secara keseluruhan, Ratatouille adalah sebuah mahakarya yang canggih dan dewasa. Meskipun karakternya tikus lucu, tema yang diusungnya—tentang integritas artistik, prasangka, dan keberanian untuk menjadi berbeda—sangat relevan bagi orang dewasa. Film ini mengajarkan kita untuk tidak membiarkan asal-usul kita membatasi impian kita.

Bagi pencinta kuliner, seniman, atau pemimpi, Ratatouille adalah sebuah surat cinta yang memvalidasi gairah (passion) Anda. Ia adalah hidangan sinematik bintang lima yang memuaskan mata, perut, dan jiwa. Sebuah film yang membuktikan bahwa Pixar tidak hanya membuat film untuk anak-anak, tetapi membuat film bagus yang kebetulan bisa ditonton oleh anak-anak. Bon appétit!

review film lainnya …..

More From Author

Review Drama: Dear X (2025)

Review Film Inside Out

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LINK ALTERNATIF: