review-film-the-lighthouse

Review Film The Lighthouse

Review Film The Lighthouse. Pada 18 Oktober 2025, enam tahun setelah debutnya yang mengguncang festival film, The Lighthouse karya Robert Eggers kembali menjadi sorotan di tengah tren retrospektif horor psikologis yang marak di musim gugur ini. Dirilis pada 1 November 2019 dengan durasi 109 menit, film ini—dibintangi dua aktor papan atas dalam peran ganda—mengisahkan dua penjaga mercusuar yang terjebak di pulau terpencil akhir abad 19, di mana isolasi memicu kegilaan yang lambat tapi mematikan. Dengan pendapatan global 18 juta dolar AS dari anggaran 12 juta dolar, karya ini tak hanya sukses kritis—meraih nominasi Oscar untuk akting pendukung pria—tapi juga jadi ikon genre, terutama saat survei 2025 menunjukkan 62 persen penonton muda mencari film yang campur horor dengan introspeksi diri. Berlatar New England yang berangin kencang, The Lighthouse bukan sekadar cerita hantu laut, tapi alegori gelap tentang maskulinitas rapuh dan mitos yang menelan jiwa. Di era di mana isolasi pasca-pandemi masih bergema, film ini terasa seperti obat pahit yang menyegarkan, mengajak penonton menyelami kegelapan batin. Artikel ini mereview ulang pesonanya, menyoroti elemen-elemen yang membuatnya tetap jadi mercusuar di lautan sinema horor. BERITA TERKINI

Sinopsis Cerita dan Karakter yang Menggelisahkan: Review Film The Lighthouse

The Lighthouse dimulai dengan kedatangan Ephraim Winslow (Robert Pattinson), buruh kasar yang direkrut untuk tugas empat minggu di mercusuar terpencil dekat Maine, tahun 1890-an. Ia dipasangkan dengan Thomas Wake (Willem Dafoe), penjaga veteran yang posesif atas lampu mercusuar—simbol kekuasaan mutlak yang dilarang disentuh Winslow. Rutinitas mereka sederhana tapi menyesakkan: memotong rumput laut, membersihkan tangki, dan bertahan badai yang tak berujung, sambil Wake mendominasi dengan cerita mitos laut dan minuman keras rakus.

Cerita berkembang menjadi mimpi buruk lambat: Winslow gelisah oleh mimpi erotis tentang putri duyung, suara aneh dari mercusuar, dan larangan Wake yang semakin absurd, memicu konflik yang meledak menjadi kekerasan fisik dan halusinasi. Twist datang bertubi—dari pengkhianatan masa lalu Winslow hingga rahasia Wake yang ternyata bukan sekadar gila—membuat penonton bertanya mana yang nyata. Karakter-karakternya minim dialog tapi kaya nuansa: Winslow, dengan aksen Inggris yang tegang, mewakili pemuda ambisius yang hancur oleh otoritas; Wake, dengan monolog panjangnya yang seperti teater Yunani, jadi perwujudan patriarki usang yang rapuh. Eggers membangun narasi seperti kabut: lambat membungkus, tapi tiba-tiba menerkam, dengan akhir yang ambigu tapi memuaskan—sebuah sinopsis yang tak bergantung pada jump scare, melainkan ketegangan internal yang membuat setiap menit terasa seperti hembusan angin dingin di tulang.

Tema Isolasi, Maskulinitas, dan Mitos yang Menghantui: Review Film The Lighthouse

Di balik hembusan angin dan suara klakson mercusuar, The Lighthouse menyelami tema isolasi sebagai katalisator kegilaan, di mana pulau terpencil jadi metafor pikiran yang terkunci. Eggers, terinspirasi legenda pelaut dan psikoanalisis Freud, menggambarkan bagaimana kesendirian memaksa dua pria konfrontasi bayang-bayang mereka: Winslow bergulat dengan rasa bersalah masa lalu, sementara Wake menolak penuaan dengan ritual mitos seperti Poseidon yang posesif. Tema ini dieksplorasi tanpa ampun—adegan minum keras berubah jadi pengakuan brutal, mengungkap bagaimana isolasi merobek lapisan peradaban hingga tinggal insting primal.

Lebih tajam lagi, film ini kritik maskulinitas toksik: keduanya bersaing seperti pria purba, dengan tawa kasar dan pukulan yang mewakili represi emosi, tapi akhirnya runtuh menjadi kerapuhan—air mata, pengkhianatan, dan penyerahan pada laut yang ganas. Mitos laut jadi benang merah: putri duyung sebagai simbol hasrat terlarang, lobster raksasa sebagai alegori dosa yang merayap. Di 2025, saat diskusi tentang kesehatan mental pria naik, tema ini terasa profetik: isolasi bukan pelarian, tapi jebakan yang ungkap luka tak sembuh. Eggers tak beri jawaban mudah; ia biarkan penonton renungkan, membuat The Lighthouse bukan horor murahan, tapi cermin gelap yang paksa kita hadapi monster dalam diri—pesan yang menyakitkan tapi esensial di dunia yang semakin terhubung tapi kesepian.

Gaya Sinematografi Monokromatik, Performa Ikonik, dan Resepsi yang Abadi

Eggers menyutradarai dengan gaya yang seperti lukisan Rembrandt: hitam-putih 35mm dengan aspect ratio 1.19:1 yang sempit seperti terowongan, menciptakan klostrofobia visual yang mencekam—setiap frame penuh bayangan dramatis, kabut tebal, dan wajah berkerut oleh angin. Sinematografi Jarin Blaschke memenangkan Oscar untuknya, dengan shot panjang yang tangkap ritme ombak seperti napas yang tersengal, sementara suara angin dan klakson mercusuar jadi skor tak kasat mata yang mengganggu tidur. Editing lambatnya membangun paranoia, kontras dengan monolog Wake yang seperti pidato Shakespeare—Dafoe menyampaikannya dengan karisma liar yang bikin merinding.

Performa keduanya jadi puncak: Pattinson, dengan kumis aneh dan mata liar, transformasi dari aktor glamor jadi buruh kasar yang retak; Dafoe, nominasi Oscar-nya, curahkan kegilaan seperti badai—tawa gila, gerutuan pelaut, semuanya autentik hingga terasa seperti teater hidup. Resepsi awalnya campur: 90 persen rating kritis di situs review, dipuji sebagai “masterpiece horor seni,” tapi beberapa keluhkan pacing lambat; itu justru kekuatannya, seperti minum rum yang perlahan mabukkan. Di 2025, film ini bangkit sebagai kultus: lonjakan 28 persen penayangan di platform streaming berkat tren “cabin fever movies,” dan retrospektif festival memicu diskusi ulang tentang pengaruh Lovecraft. Dampaknya meluas: inspirasi bagi horor independen yang lebih berani, membuktikan Eggers bisa gabung sejarah dengan mimpi buruk, menjadikan The Lighthouse benchmark untuk film yang tak hanya ditonton, tapi dirasai di perut.

Kesimpulan

Pada akhirnya, The Lighthouse di 2025 tetap jadi mercusuar gelap di lautan horor, dengan cerita isolasi yang mencekam, tema maskulinitas yang menggigit, dan eksekusi artistik yang memabukkan. Eggers tak beri kenyamanan; ia dorong kita ke tepi jurang, di mana cahaya mercusuar ungkap kegilaan kita sendiri. Di musim gugur yang dingin ini, filmnya ingatkan bahwa terkadang, kabut terbaik adalah yang kita cipta sendiri—sebuah pelajaran pahit tapi brilian. Bagi yang belum tonton, nyalakan lilin dan tekan play; bagi penggemar lama, review ini undangan untuk ulang lihat dan rasakan anginnya lagi. Di dunia yang berisik, The Lighthouse ajak diam dan dengar jeritan dalam—sebuah karya abadi yang bukti, horor sejati lahir dari hening yang dalam.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

More From Author

review-film-parasite

Review Film Parasite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LINK ALTERNATIF: