Review Film Parasite. Pada 17 Oktober 2025, sorotan kembali tertuju pada Parasite saat Bong Joon-ho, sutradara ikoniknya, memimpin jury Marrakech International Film Festival yang berlangsung akhir Agustus lalu, di mana ia sebut film 2019 itu sebagai “titik balik” karirnya yang kini soroti isu class warfare di proyek sci-fi terbarunya, Mickey 17. Acara itu, yang rayakan warisan Parasite dengan screening ulang, picu gelombang nostalgia di kalangan kritikus, terutama saat Bong bandingkan filmnya dengan karya-karya baru di festival. Rilis 2019 ini, dengan durasi dua jam sembilan belas menit, ceritakan keluarga miskin Kim yang infiltrasi rumah kaya Park, campur komedi hitam, thriller sosial, dan twist mencekam yang bikin penonton geleng-geleng. Di tengah tren film kelas menengah yang sering abaikan ketimpangan, Parasite tetap relevan—bukan sekadar cerita lucu yang berubah gelap, tapi cermin tajam masyarakat modern. Review ini kupas tiga aspek kunci yang bikin film ini abadi, dari narasinya yang licik hingga dampak budayanya, terutama saat Bong ungkap di Yale Mei lalu bahwa Parasite lahir dari pengamatan sehari-hari ketidakadilan. BERITA TERKINI
Narasi dan Tema: Ketimpangan yang Merayap dari Bawah: Review Film Parasite
Narasi Parasite adalah perpaduan jenius antara komedi ringan dan thriller tegang, di mana keluarga Kim—Ki-taek ayah pengangguran, Ki-woo putra pintar, dan adik serta ibu yang kreatif—masuk ke kehidupan keluarga Park yang kaya raya melalui tipu muslihat halus. Bong susun plot seperti jebakan tikus: babak awal penuh tawa saat Kim ganti pekerjaan satu per satu sebagai tutor, sopir, terapis, dan pembantu, lalu klimaks twist di basement yang ubah segalanya jadi kekerasan brutal. Durasi terasa pas, dengan pacing yang naik pelan seperti air banjir yang merayap, hindari kebosanan meski dialog penuh sarkasme seperti “mereka punya aroma orang miskin”.
Tema utamanya ketimpangan sosial: garis tak kasat mata antara kaya dan miskin yang jadi jurang mematikan, di mana “parasit” Kim tak jahat tapi putus asa, sementara Park yang ramah tapi buta. Bong, terinspirasi pengamatan Korea Selatan pasca-krisis ekonomi, gali bagaimana kemiskinan ciptakan siklus kebohongan, dengan hujan deras sebagai metafor banjir yang beda nasib. Di wawancara Mickey 17 Maret lalu, Bong bilang Parasite “bukan alegori, tapi realitas sehari-hari” yang kini ia bawa ke luar angkasa. Kekurangannya? Beberapa subplot seperti konflik internal Kim terasa kurang dieksplor, tapi justru itu kekuatannya: narasi tak berat, tapi menusuk tajam, bikin penonton keluar dengan tawa getir dan pertanyaan soal ruang di rumah sendiri.
Performa Aktor dan Pengembangan Karakter: Ensemble yang Hidup dan Relatable: Review Film Parasite
Performa Song Kang-ho sebagai Ki-taek adalah keajaiban: ia bawa karisma ayah biasa yang putus asa tapi lucu, dari senyum paksa saat wawancara hingga ledakan amarah akhir yang bikin merinding, tunjukkan kedalaman aktor veteran Korea. Choi Woo-shik sebagai Ki-woo tambah kontras pintar tapi naif, sementara Park So-dam sebagai Ki-jung wakili ambisi cewek muda yang licik tapi tragis. Di sisi Park, Lee Sun-kyun sebagai pemilik rumah beri nada naif tapi arogan, dan Jo Yeo-jeong sebagai istri tambah lapisan kemewahan buta.
Pengembangan karakter fokus pada dinamika kelas: Kim tumbuh dari korban jadi pelaku, sementara Park tetap statis sebagai simbol privilege yang tak sadar. Bong puji Song karena improvisasi dialog sehari-hari yang bikin adegan makan malam terasa asli tegang. Ensemble ini menang Oscar Best Ensemble Cast, dengan chemistry keluarga Kim yang terasa seperti potret keluarga nyata—lucu, hangat, tapi retak. Di festival Marrakech Agustus lalu, Bong ceritakan bagaimana casting dari teater lokal bikin karakter relatable global. Kekurangannya? Karakter Park kurang kedalaman emosional, tapi justru soroti tema: orang kaya tak perlu kompleks untuk jadi “penjahat”. Performa ini bikin penonton jatuh cinta pada Kim meski tahu akhirnya pilu, bukti akting bisa bikin satire sosial terasa manusiawi.
Visual, Sound, dan Produksi: Estetika yang Tajam dan Minimalis
Visual Parasite adalah pisau bedah yang presisi: Bong syuting di rumah nyata di Paju, Korea Selatan, dengan palet warna dingin biru untuk basement Kim kontras hangat kuning rumah Park, simbol jurang kelas. Sinematografi Hong Kyung-pyo, yang menang Oscar Best Cinematography, pakai long take untuk adegan pesta yang tegang tapi elegan, bikin penonton rasakan ruang sempit secara fisik. Di produksi 2025 ulang, visual 4K remaster bikin detail seperti bau lembab basement terasa lebih nyata.
Soundtrack Jung Jae-il campur string minimalis dengan suara hujan deras yang jadi elemen narasi, menang Oscar Best Original Score yang soroti ketegangan diam. Produksi ambisius tapi hemat: budget 11 juta dolar hasilkan film global 258 juta, dengan syuting enam bulan yang fokus lokasi asli untuk autentisitas. Di wawancara Yale Mei lalu, Bong bilang visual “seperti lukisan sosial” yang ungkap ketimpangan tanpa kata. Kekurangannya? Beberapa efek suara terasa konvensional, tapi produksi ini bukti film Korea bisa saing Hollywood dengan cerdas, dorong penonton hargai detail kecil seperti tangga sempit yang simbol naik-turun kelas.
Kesimpulan
Parasite di 2025, lewat festival Marrakech dan wawancara Bong soal Mickey 17, tetap jadi mahakarya: narasi ketimpangan yang merayap licik, ensemble Song Kang-ho yang hidup, dan visual tajam yang bedah masyarakat. Film ini tak sempurna—subplot ringan, efek konvensional—tapi kekuatannya di kemampuan bikin satire sosial terasa universal dan emosional. Bagi yang belum nonton, mulai sekarang; bagi yang sudah, ulang untuk rasakan ulang tusukannya. Pada akhirnya, seperti hujan deras yang banjiri basement, Parasite ingatkan: ketimpangan tak hilang, tapi cerita bagus bisa bikin kita lihat—sebuah film yang layak ditonton ulang, di dunia yang masih sama rapuhnya.